Senin, 13 Februari 2012

Aceh Urutan 4 Termiskin di Indonesia


Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya sangat banyak memiliki devisa, tetapi Aceh tetap terkenal miskin. Bahkan, jika diurutkan dengan provinsi lain di Indonesia, Aceh masuk urutan empat besar termiskin dibandingkan wiayah lain.
Ha itu merupakan hasil studi Word Bank yang dipaparkan oleh Hary Hasan Masyrafah, salah seorang tim peneliti di Word Bank untuk Aceh pada saat diskusi dengan paramahasiswa di ruang senat rektorat Universitas Syiah Kuala kemarin (12/ 4).
Hary menjelaskan hasil temuannya bahwa Aceh Utara yang merupakan daerah penghasil minyak dan gas (migas) terbesar di Indonesia, ternyata penduduknya tergolong urutan termiskin dibandingkan dengan kabupaten/ kota lain se-NAD.
“Aceh Utara itu penghasil Migas terbesar, tetapi persentase kemiskinan di sana menduduki kelas teratas,” ungkap lelaki lulusan Fakultas Ekonomi Unsyiah itu.
Hasil penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa US$ 5,8 M dana sudah dialokasikan untuk proses rekonstruksi Aceh. Implementasinya, kata Hary, Aceh mengalami kemajuan pada akhir tahun 2005, tetapi masih jauh dengan apa yang diharapkan pada tahun 2006.
Menurut Hary, Aceh menjadi daerah termiskin disebabkan beberapa faktor utama, di antaranya, kerangka peraturan perundang-undangan belum lengkap dan pemerintah belum berani melakukan pinjaman. Untuk mengatasi kemiskinan tersebut, Hary berpendapat, seharusnya pengelolaan keuangan daerah harus logis.
“Pengeluaran Kabupaten/ Kota sebenarnya menjadi tiga kali lipat lebih besar sejak diterapkannya disentralisasi di wilayah Aceh, tetapi mengapa daerah ini tetap miskin? Karena pengelolaan keuangannya keluar dari kerangka logis,” ujarnya.
Hary memberikan contoh pada sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastrusktur yang dibangun di Aceh. Pada sektor kesehatan, menurut Hary, alokasi dananya sangat minim. “Hanya 2,6 persen. Ini sangat kecil,” tegasnya.
Dia juga memaparkan hasil studinya bahwa sebenarnya guru di Aceh sudah lebih dari cukup, tetapi kesejahteraan mereka sangat kurang. Hal ini berpengaruh pada peningkatan pengangguran yang akhirnya kembali berdampak pada angka kemiskinan, kata Hary. Oleh karena itu, dalam laporan hasil penelitiannya itu, Hary merekomendasikan agar pemerintah memperkuat pengawasan dan evaluasi pengelolaan dana untuk pendidikan.
Sementara pada sektor infrastruktur, lulusan Unsyiah angkatan ‘97 itu berpendapat bahwa pemerintah tidak memprioritaskan infrastruktur sehingga hasil pembangunan selalu kurang baik.
“Misalkan saja pada pembangunan jalan, 23 persen jalan raya di Aceh dipastikan masih rusak parah,” ujar Hary.
Nanggroe Aceh Darussalam sebenarnya sangat tergantung pada minyak dan gas, tetapi Hary menyayangkan kalau rakyat termiskin itu terdapat di Aceh Utara yang merupakan sumber migas di Aceh. Hal ini menurutnya pemerintah daerah NAD tidak memiliki terobosan yang besar terhadap penghasilan di Aceh.
Hary juga mencoba mengukur kinerja pemerintah lokal di Aceh. Sedikitnya ada sembilan strategis yang harus diperhatikan pemda dalam membangun Aceh ke depan, kata Hary. Di antaranya, memperhatikan kembali kerangka perundangan daerah, perencanaan dan penganggaran, pengelolaan kas, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan asset daerah, dan lain-lain.
di Pulau Sumatera, Provinsi Aceh nomor satu paling miskin diantara provinsi lain. Bahkan secara nasional penduduk miskin paling banyak masih di Pulau Jawa dan Sumatera, baru kemudian menyusul Papua, Sulawesi, Kalimantan dan Bali.
Sebenarnya Aceh dan Papua memiliki Penghasilan Terbanyak sekitar 9.000 triliun, diBandingkan Jawa yang penghasilannya cuma 4.000 triliun, tapi Aceh dan Papua masih dikatakan yang paling miskin,
Belum lagi kekayaan hutan dan laut. Namun kekayaan yang melimpah ruah itu semua kenyataannya berbeda dengan kondisi warga. Warga belum tentu tercukupi sandang-pangan-papan dan lapangan kerja. Sehingga, banyak yang mencari kerja ke luar negeri sebagai babu.
Di negeri orang, ratusan ribu babu berasal dari negeri yang kekayaan alamnya melimpah ruah ini ada yang mendapat perlakuan tidak manusiawi disamping tidak memperoleh upah.